Senin, 16 Desember 2013

Analisis Film " Mahalnya Air di Daerah Jakarta" _@Hery

“Mahalnya Air di Daerah Jakarta (Muara Baru)”


Kota Jakarta seperti halnya kota-kota lainnya di dunia, mengalami proses urbanisasi dengan segenap permasalahan di dalamnya. Kenyataan bahwa Kota Jakarta sebagai kota terbesar, tidak terlepas dari permasalahan utilitasnya. Salah satunya adalah masalah penyediaan air bersih.
Air merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat vital. Keberadaan umat manusia sangat tergantung pada ketersediaan air. Ketersediaan dan kebutuhan air harus seimbang terutama untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya air. Kelebihan air di musim hujan pada suatu lokasi/wilayah bisa menimbulkan bencana banjir dan longsor. Namun kekurangan air pada musim kemarau pun dapat menimbulkan masalah, misal munculnya bencana kekeringan. Keberadaan, ketersediaan, kebutuhan dan penggunaan sumberdaya air tergantung pada banyak faktor yang saling mempengaruhi dan saling memberikan dampak positif maupun negatif.
Pada kesempatan ini saya melihat dan mencoba medeskripsikan Video Yang berjudul Mahalnya Air di Jakarta berdurasi 6 Menit 12 Detik yang ditayangkan oleh  stasiun “Tempo TV” dalam acara “Asia Calling” merupakan Video berita yang meliput tentang kehidupan masyarakat kota Yakni di daerah Muara Baru Jakarta Barat. Ironis jika kita melihat tanyangan berita tersebut, air yang disediakan oleh Allah didalam Alam raya ini merupakan sumber daya Alam yang semestinya dapat di nikmati oleh semua makhluk hidup (tanpa terkecuali). Namun karena sifat keserakahan manusia air menjadi barang atau sumber daya yang langka dan menjadi mahal. Mengapa bisa seperti itu ?

Menurut Warga Muara Baru yang di dapat telah mengatakan, “Kami dapat mengeluarkan uang sedikitnya Rp. 300.000,- untuk mendapatkan air bersih, itupun hanya untuk kebutuhan mandi dan keperluan memasak saja, jika ditambah dengan mencuci pakaian dan sebagainya, maka uang yang dikeluarkan oleh kami lebih dari Rp. 300.000,- setiap bulannya, dari hasil atau gajih yang kami dapatkan setiap bulannya habis untuk membeli keperluan air saja, itupun air yang didapatkan tidak bersih (Berbau dan berwana kekuningan), air tanah yang di ada dirumahnya tidak dapat di konsumsi atau digunakan, karena airnya pahit atau berbau dan warnanya kekuning-kuningan.

Selain Ibu Kokom, terdapat pula warga yang merasakan susahnya mendapatkan air walaupun air itu tidak gratis (Bayar). Ia harus bersabar untuk mendapatkan air, padahal selama ini untuk mendapatkan air bersih hanya bergantung kepada PDAM Jakarta. Menurutnya, air yang didapatkan tidak mudah dalam artian sulit untuk didapat, ia rela untuk tidak tidur malam demi menunggu datangnya air. Karena air yang datang dari PDAM akan menyala ketika malam hari, air yang keluarpun tidak bagus, terkadang berbau Lumpur dan warnanya keruh (berwana kekuningan).
Ketidakmampuan Kota Jakarta dalam hal penyediaan air bagi masyarakatnya telah membuat masyarakat mencari solusi sendiri untuk memenuhi kebutuhannya akan air. Beragam cara dilakukan oleh masyarakat demi pemenuhan kebutuhannya, antara lain dengan menggunakan air tanah. Penggunaan air tanah yang tidak terkendali, pada akhirnya menyebabkan penurunan muka air tanah (land subsidence) yang terus bergulir menjadi permasalahan turunan lainnya. Jakarta merupakan salah satu contoh perkotaan yang posisinya semakin rendah dibandingkan dengan permukaan air laut sehingga senantiasa dihadapkan pada persoalan banjir dan kelangkaan air. Sesungguhnya, ancaman bencana kelangkaan sumberdaya air tidak kalah mengkhawatirkan bagi masyarakat perkotaan.
Tidak dapat dipungkiri beberapa tahun terakhir, pembangunan kawasan superblok mendominasi pembangunan Jakarta. Timbul masalah terkait dengan penyediaan sarana dan prasarana penunjangnya. Salah satunya adalah tentang ketersediaan air bersih. Dampak  minimnya ruang terbuka hijau turut mewarnai berkurangnya penyediaan air tanah. Yang dirugikan, masyarakat.
Indonesia, sebenarnya mengakui air sebagai Hak Asasi Manusia. Jelas ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 2, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Negara memiliki kewajiban melindungi hak rakyat agar semuanya dapat mengakses sumber air serta memanfaatkannya untuk kebutuhan sehari-hari. Pemerintah memiliki kewajiban untuk mengontrol para investor asing atau perusahaan swasta yang berusaha mengeksploitasi sumber-sumber air di Indonesia karena apa yang dilakukan oleh para pengusaha tersebut dapat mengganggu kesejahteraan masyarakat.
Menurut Hamong Santono (KRuHA) dan Ishlah (WALHI), bahwasanya Privatisasi layanan air bersih di Jakarta dilakukan karena PAM Jaya dianggap tidak memiliki kemampuan teknis dan keuangan yang dibutuhkan untuk meningkatkan layanan air bersih  di ibu kota negara. Sementara dua operator swasta diyakini memiliki keahlian teknis dan dana untuk membuat layanan air bersih Jakarta setara dengan ibukota-ibukota lain di berbagai negara maju. Kontrak konsesi yang diperoleh dua operator swasta tersebut berasal dari tindakan politis rezim Suharto. Proses itu dimulai dengan sebuah surat dari Presiden Suharto pada 1995, dan diakhiri dengan dua perusahaan yang ditunjuk pada 1997, tanpa melalui proses tender.
Terlepas dari persoalan proses privatisasi yang jauh dari transparan dan dipenuhi praktek nepotisme, privatisasi air di Jakarta seiring sejalan dengan upaya dari lembaga keuangan internasional (IFIs) seperti Bank Dunia dan ADB  yang pada saat itu sedang gencar-gencarnya mempromosikan keterlibatan sektor swasta dalam penyediaan layanan dasar, khususnya air bersih yang merupakan bagian dari agenda neo-liberalisme yang didukung oleh IFIS.


Jakarta, 25 November 2013
Penyusun,

Ahmad Suheri


Referensi : Siti Komariyah (Ibu Kokom) dalam wawancara Tempo TV (Asia Calling).
http://jakarta.kompasiana.com/layanan-publik/2013/08/24/privatisasi-air-di-jakarta-harus-segera-berakhir-586186.html






2 komentar:

  1. ironi memang melihat sejarah kota jakarta yang dahulunya memang dimukimi oleh rawa rawa pada masanya.. tapi sekarang musim panas kekeringan, musim hujan kebanjiran. Nah saatnya generasi pemberdaya memikirkan solusi bagaimana volume curah hujan yang berlebih bisa menjadi sumber daya air tampungan yang bermanfaat buat warga jakarta. :)

    BalasHapus
  2. Air sangat dekat dengan kehidupan manusia? terutama bagi perempuan, mahalnya air yang paling kerasa adalah perempuan karena setiap kegiatan reproduksi perempuan selalu bersentuhan dengan air. boleh juga diberikan contoh2 real di kehidupan sehari-hari

    BalasHapus